KORPORATOKRASI
Semua Negara pada saat ini mengaku menjalankan suatu system yang diagung-agungkan karena dipercaya memerintah hanya dan untuk rakyat, tapi pada kenyataannya tidaklah seperti itu. Bukan satu negara kaya saja, bukan satu perusahaan raksasa saja, bukan satu pemilik uang melimpah saja. Tetapi kumpulan dari tiga kekuatan ini, yang dinamakan korporatokrasi yang menuasai tidak hanya Indonesia tetapi juga Negara-negara berkembang lainnya diseluruh dunia. Konsep korporatokrasi sering digunakan untuk menggambarkan keadaan saat pemerintah dalam banyak hal bekerja di bawah tekanan, tunduk kepada, dan sekaligus melayani kepentingan perusahaan swasta besar. Suatu pemerintahan yang kuat ataupun berkuasa tidak bisa dilepaskan dari korporatokrasi. Politik tanpa dukungan finansial yang kuat akan menjadi kekuatan yang lumpuh dan sebaliknya finansial tak akan berkembang jika jauh dari kekuasaan. Demokrasi bakal tumbuh dan berkembang jika pihak yang memiliki kekayaan menjadi kuat dan aktif dalam proses demokratisasi. Dari sini bisa kita lihat kenapa akhir-akhir ini banyak pengusaha yang terjun kedunia politik. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah dampak atau pengaruh yang akan ditimbulkan dari masuknya pengusaha ke dalam dunia politik atau diistilahkan dengan era korporatokrasi di Indonesia ini.
Sisi baik dari masuknya pengusaha ke dunia politik diharapkan akan menumbuhkan jiwa entrepreneur atau kemandirian dalam membangun perekonomian wilayah yang dipimpinnya. Sementara kekhawatiran negatif muncul bila pengusaha hanya menjadikan kekuasaan sebagai alat memperluas dan melanggengkan usaha-usaha yang dijalaninya dengan melakukan praktek KKN. Dalam memandang tren korporatokrasi ini diperlukan sikap yang bijak dari semua pihak. Pengusaha yang masuk ke wilayah politik bukanlah suatu hal yang menakutkan, justru akan menimbulkan dampak positif bagi perkembangan politik itu sendiri dengan adanya kemandirian di sisi finansial. Namun perlu diingat bahwa pengusaha yang sudah menjadi pejabat publik sekarang, mereka sudah menjadi milik publik. Karena itu sudah seharusnya mereka memikirkan melayani rakyatnya sekarang dan meninggalkan atau menyerahkan usahanya keorang kepercayaannya, agar tidak tercampur-aduk dalam satu kepemimpinan. Sikap profesionalisme pegusaha yang kini menjadi penguasa itu sendiri yang kini dituntut lebih dimunculkan melalui kebijakan yang menguntungkan masyarakat, untuk menepis tudingan miring kalangan yang memandang negative munculnya pengusaha-pengusaha ke dunia politik
Dengan demokrasi maka rakyat otomatis akan masuk dalam kekuasaan korporatokrasi. Salah satu contoh hal ini dapat dilihat pada kebebasan kepemilikan, setiap orang bebas memiliki apapun asalkan mampu. Bumi, air, dan kekayaan yang menjadi hajat hidup orang banyak tidaklah dikuasai oleh negara. Pihak yang mempunyai dana lebih besarlah yang akan menguasainya. Inilah yang membuat rakyat berada dalam tahapan cengkeraman korporatokrasi. Karena untuk melakukan kepemilikan tersebut rakyat tidak akan mempunyai cukup uang untuk membeli atau memiliki sektor-sektor diatas. Karenanya pada akhirnya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak adalah swasta dan pada akhirnya mereka juga ikut turut serta dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam jalannya pemerintahan. Secara umum, kondisi masyarakat biasanya diwarnai oleh tiga hal yaitu nilai, kekuasaan, dan harta. Yang menjadi pertanyaan adalah, mana di atara ketiga hal tersebut yang berada diatas yang lainnya. Dalam masyarakat komunis, kekuasaan memimpin nilai dan harta. Dalam demokrasi yang sudah tercampur korporatokrasi maka nilai dan kekuasaan hanyalah alat semata dan hartalah yang berkuasa.
Korporatokrasi prinsipnya adalah proses kebijakan yang hanya akan menguntungkan bisnis dan penguasa politik. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana nasib rakyat, jika nasibnya tersebut sangat dipengaruhi oleh korporatokrasi. Pemerintah pad dasarnya adalah regulator semua kegiatan publik, termasuk aktivitas korporasi dan menegakkan hukum bila terjadi pelanggaran hukum. Pemerintah tak boleh tunduk kepada kepentingan individu atau korporasi manapun. Adanya Conflict of interest semacam itulah yang merusak demokrasi yang susah payah kita coba terapkan selama 10 tahun. Ketika penguasa dan pengusaha berkumpul di satu tangan maka akan terjadi pemerintahan korporatokrasi dimana kebijakan-kebijkan yang dikeluarkannya diutamakan untuk menguntungkan korporasi. Masyarakatpun pasti akan menyadari keterkaitan Lapindo Brantas dengan Aburizal Bakrie serta kepentingan Presiden sendiri. Kecuali Aburizal Bakrie mengundurkan diri atau diberhentikan dari menteri. Sebab sangat tidak masuk akal, pihak berkepentingan, atas nama jabatan negara, ikut serta dalam mengambil keputusan tentang perusahaan yang merupakan miliknya sendiri. Saat ini yang sedang terjadi di Indonesia adalah negara korporatokrasi bukan demokrasi, yang berkuasa bukan rakyat tetapi sekelompok kecil orang yang memiliki kekayaan, saat ini aspirasi rakyat terabaikan dan terbuang percum malah yang berkuasa secara nyata adalah pemilik korporasi. System demokrasi pada dasarnya tidak bisa deterapkan dalam negara yang besar, heterogen, apalagi bersifat global. Secara historis demokrasi hanya pernah berlangsung pada masa Yunani Kuno tepatnya di kota Athena yang pendudukannya hanya sebanyak penduduk satu RT di salah satu perkampungan di kota Jakarta. Negara yang jumlah penduduknya setingkat RT saja. Lebih dari RT itu, demokrasi tidak punya kapabilitas menanganinya
FILM PENDEK "Bang Bing Bung Yok...!" #GoshBCAVideo58
9 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar